PENYAKIT KUSTA
A. Identifikasi
dan Gambaran Epidemiologi Penyakit Kusta
Penyakit Hansen
atau Penyakit Morbus Hansen yang
dahulu dikenal sebagai Penyakit Kusta
atau Lepra adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri, terutama
menyerang saraf tepi, kemudian menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas
bagian atas, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat.
Ø Gambaran
Epidemiologi Penyakit
Di seluruh dunia,
dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. India adalah negara
dengan jumlah penderita terbesar, diikuti Brazil dan Myanmar.
Pada tahun 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan
640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di
Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70%
kasus dunia terdapat di India, Myanmar dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus
ditemukan di seluruh dunia dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta di
dunia terdapat di Brazil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Bila seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar
(95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate,
30% bermanifestasi klinis menjadi determinate
dan 70% sembuh (lihat gambar 1).
Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih
rentan daripada orang dewasa frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah
umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.
Kelompok
beresiko
Kelompok yang
beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan
kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak
bersih, asupan gizi yang buruk dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV
yang dapat menekan sistem imun.
B.
Penyebab Penyakit Kusta
Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah bakteri yang
tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobic, gram positif,
berbentuk batang, dan dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri
dari spesies Mycobacterium. Waktu pembelahan M. leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia
(dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan
optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 27°-30°C dan masa tunasnya rata-rata
2-5 tahun.
C.
Distribusi Penyakit Kusta
a.
Menurut Orang
1.
Tentang Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada
bayi. Insiden Rate penyakit ini
meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 – 20 tahun dan kemudian
menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak
umur 30 – 50 tahun dan kemudian secara
perlahan-lahan menurun.
2.
Tentang Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang manusia
baik pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, tetapi jenis kelamin
laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan perempuan. Jumlah penderita laki-laki dewasa biasanya 2-3 kali lebih besar daripada
wanita, hal ini dihubungkan dengan aktifitas pria diluar rumah sehingga resiko
tertular lebih besar. Kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada
laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta
faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit
kusta.
b.
Menurut Waktu
Pemeriksaan skin smear penderita sebagai pemeriksaan
rutin sebelum dimulai MDT untuk menentukan kategori pengobatan, disamping
gambaran klinis. Seleksi penderita untuk mendapat MDT yaitu : 1) semua
penderita baru (PB dan MB), 2) semua penderita yang telah mendapat DDS dalam
waktu lama, tetapi enyakit tetap aktif, 3) Semua penderita yang berobat kurang
dari 2 tahun. Pelaksanaan MDT yaitu 1) Tipe PB (Pauci Baciler) dengan pengobatan selama 6 bulan dapat diselesaikan
dalam waktu 9 bulan. Setelah selesai pengobatan penderita dinyatakan RFT (Release From Treatment) atau berhenti
minum obat kusta, meskipun secara klinis lesinya lasih aktif. 2) Tipe MB (Multi Baciler) dengan pengobatan selama
2 tahun dapat diselesaikan dalam waktu 36 bulan, sesudah selesai pengobatan
penderita dinyatakan RFT (berhenti minum obat kusta).
c.
Menurut Tempat
Penyakit kusta tersebar
diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Pada tahun 1985 diperkirakan
jumlah penderita kusta di dunia lebih dari 11 juta. Sebagian besar dari 6
negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Sedangkan di Eropa Barat dan Utara
penderita ini tersebar separodik. Dengan penyakit kusta di Indonesia merupakan
salah satu masalah kesehatan yang kemungkinan masih banyaknya penderita
tersembunyi atau belum diketemukan.
D.
Reservoir Penyakit Kusta
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui
berperan sebagai reservoir. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi
pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione. Binatang Armadillo (sejenis trenggiling) yang
terinfeksi secara alami yang ditemukan di Texas dan Meksiko mungkin tidak
berperan dalam transmisi lepra ke manusia.
E.
Cara Penularan Penyakit Kusta
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi
basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan
yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit
(kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui
folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang
intim dan lama dengan penderita. Yang jelas seorang penderita yang sudah minum
obat tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain. Timbulnya penyakit kusta
bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa
faktor antara lain :
a. Faktor
Sumber Penularan
Sumber penularan
adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB inipun tidak akan menularkan kusta,
apabila berobat teratur.
b. Faktor
Kuman Kusta
Kuman kusta
dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 - 9 hari tergantung pada suhu atau
cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat
menimbulkan penularan.
c. Faktor
Daya Tahan Tubuh
Sebagian besar manusia
kebal terhadap penyakit kusta (95 %), dari hasil penelitian menunjukkan
gambaran sebagai berikut : dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit, hal
ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
Penularan kusta juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu
melalui lingkungan. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa adanya
penurunan prevalensi kusta ternyata tidak diikuti dengan penurunan insidensi
dan masih tetap adanya penderita baru yang ditemukan walaupun kasus aktif
sebagai sumber infeksi telah diobati. Mycobacterium leprae mampu hidup diluar
tubuh manusia dan keluar terutama dari sekret nasal. Mycobacterium leprae
ditemukan pada tanah disekitar lingkungan rumah penderita, dan hal ini
dibuktikan dengan salah satu penelitian menggunakan telapak kaki mencit sebagai
media kultur, juga dapat dibuktikan bahwa M.leprae mampu hidup beberapa waktu
di lingkungan. Mycobacterium leprae juga dapat ditemukan pada debu rumah
penderita, air untuk mandi dan mencuci yang dapat menjadi sumber infeksi, akan
tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lanjut.
F.
Masa Inkubasi Penyakit Kusta
Berkisar antara 9 bulan sampai 20 tahun dengan
rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk
kusta lepromatosa. Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah
usia 3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak
dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan.
G.
Masa Penularan
Fakta klinis dan
laboratorium membuktikan bahwa infektivitas penyakit ini hilang dalam waktu 3
bulan melalui pengobatan berkelanjutan dan teratur dengan menggunakan Dapsone
(DDS) atau clofasimine atau dalam waktu 3 hari dengan menggunakan rifampin.
H.
Kekebalan dan Kerentanan
Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat
tergantung pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated” kekebalan
secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan M. Leprae yang telah
mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan
disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis
lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal.
Karena tes ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai
pertanda adanya imunitas.
Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar
penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes
yang positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan
tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae dan
terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang kontak
dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun
hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit
kusta.
I.
Cara-cara
Pemberantasan
1)
Tindakan
Pencegahan
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk
penyakit kusta, dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan
dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan,
sehingga penularan dapat dicegah, disini letak salah satu peranan penyuluhan
kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat
secara teratur.
a. Pencegahan Primodial
Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan
pada orang-orang yang belum memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui
penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan
pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga
masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari
penyakit kusta.
b.
Pencegahan
Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk
mempertahankan seseorang yang telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan
dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara
mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya.
Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang
dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat
tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan
peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan
orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.
c.
Pencegahan
Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan
penyakit dini yaitu mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder
adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius
dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan
melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi
kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah.
Untuk menetapkan diagnose dini penyakit kusta perlu
dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal sign” pada badan, yaitu :
a)
Lesi
(Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak
keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematousa) yang mati
rasa (anestesi).
b)
Penebalan
saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai
atau tanpa gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat
dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini
bisa berupa:
-
Gangguan fungsi
sensoris : mati rasa
-
Gangguan fungsi motoris
: kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise)
-
Gangguan fungsi
otonom : kulit kering dan retak-retak.
c)
Ditemukan
Basil Tahan Asam2
Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan
kulit (BTA Positif). Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang
meragukan. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu
dari tanda-tanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan
petugas ragu perlu dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang
tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) :
Ø Tanda-tanda pada kulit
1. Bercak/Kelainan
kulit yang merah atau putih di bagian tubuh
2. Kulit
mengkilap
3. Bercak
yang tidak gatal
4. Adanya
bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut.
5. Lepuh
tidak nyeri.
Ø Tanda-tanda pada saraf
1. Rasa
kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.
2. Gangguan
gerak anggota badan atau bagian muka
3. Adanya
cacat (deformitas)
4. Luka
(ulkus) yang tidak mau sembuh
d.
Pencegahan
Tertier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi
ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya yang
dilakukan untuk memulihkan seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang
lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk
memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan
ketidakmampuannya. Pencegahan tertier meliputi:
1.
Pencegahan
Kecacatan
Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih
ekonomis daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini
mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan
keluarganya.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
Ø Upaya pencegahan cacat
primer, yang meliputi :
a) Diagnosa
dini dan penatalaksanaan neuritis
b) Pengobatan
secara teratur dan adekuat
c) Deteksi
dini adanya reaksi kusta
d) Penatalaksanaan
reaksi kusta
Ø Upaya pencegahan cacat
sekunder, yang meliputi :
a) Perawatan
diri sendiri untuk mencegah luka
b) Latihan
fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya
kontraktur.
c) Bedah
rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat
tekanan yang berlebihan.
d) Bedah
septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
e) Perawatan
mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.
2.
Rehabilitasi
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi
medik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis
yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi
dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi
fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan
pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat
meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik
(kejiwaan).
2)
Pengawasan
Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
a. Laporan
ke instansi Kesehatan setempat:
Pelaporan kasus diwajibkan di banyak negara bagian di AS dan hampir di semua
negara, Kelas 2B (lihat tentang Laporan Penyakit Menular).
b. Isolasi: tidak diperlukan untuk penderita kusta
tipe tuberkuloid; isolasi terhadap kontak harus dilakukan untuk kasus kusta
lepromatosa sampai saat pengobatan kombinasi diberikan. Perawatan dirumah sakit
biasanya dilakukan selama penanganan reaksi obat. Tidak diperlukan prosedur
khusus untuk kasus yang dirawat di RS. Di RS umum dilperlukan ruangan terpisah
untuk alasan kesopanan atau sosial. Terhadap penderita yang sudah dianggap
tidak menular lagi, tidak ada pembatasan bagi yang bersangkutan untuk bekerja
dan bersekolah.
c. Disinfeksi serentak dilakukan terhadap lendir
hidung penderita yang menular. Dilakukan pembersihan menyeluruh.
d. Karantina: tidak dilakukan.
e. Imunisasi terhadap orang-orang yang kontak: tidak
dilakukan secara rutin ( lihat 9A3 di atas )
f. Investigasi
orang-orang yang kontak dari sumber infeksi: pemeriksaan dini paling bermanfaat, tetapi
pemeriksaan berkala di rumah tangga dan orang-orang yang kontak dekat sebaiknya
dilakukan 12 bulan sekali selama 5 tahun setelah kontak terakhir dengan kasus
yang menular.
g. Pengobatan
spesifik: Mengingat
sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan munculnya resistensi
terhadap rifampin maka pemberian terapi kombinasi (multidrug theraphy)
sangatlah penting. Rejimen minimal yang dianjurkan oleh WHO untuk kusta tipe
multibasiler adalah rifampin, 600 mg sebulan sekali; dapsone (DDS), 100 mg per
hari; dan clofasimine, 300 mg sebulan sekali dan 50 mg per hari Rifampin dan
clofasimin yang diberikan setiap bulan harus diawasi dengan ketat. Komite Ahli
Kusta WHO telah mentapkan waktu minimal yang diperlukan untuk pengobatan kusta
tipe multibasiler dipersingkat menjadi 12 bulan dimana sebelumnya waktu
pemberian pengobatan adalah 24 bulan. Pengobatan jika diperlukan dapat
diperpanjang sampai pada pemeriksaan specimen kulit menunjukkan hasil negative.
Untuk penderita kusta tipe pausibasiler
(tuberkuloid) atau untuk penderita dengan lesi kulit tunggal pemberian dosis
tunggal obat kombinasi yang terdiri dari 600 mg rifampin, 400 mg ofloxaxin dan
100 mg mynocyclone sudah mencukupi. Bagi penderita tipoe pausibasiler dengan
lesi kulit lebih dari satu, rejimen yang dianjurkan adalah (600 mg rifampin
yang diberikan sebulan sekali dengan pengawasan yang ketat, 100 mg dapsone
setiap hari), diberikan selama 6 bulan. Penderita yang sedang mendapat
pengobatan harus dimonitor untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping,
reaksi kusta, dan ulkus tropikum. Komplikasi yang tertentu yang terjadi selama
pengobatan perlu rujuk pada pusat rujukan.
Dan juga terdapat pengobatan dengan obat
herbal, yaitu sejenis obat yang menggunakan bahan dasar tumbuhan atau sejenis
umbi-umbian, yang cara penggunaannya dengan dioleskan
kepada lesi yang ada ditubuh penderita. Antara lain :
a)
Resep 1
·
Bahan
:
-
Umbi
bidara upas 3/4 jari
-
air
matang 4 sendok makan
-
madu
2 sendok makan
·
Pemakaian
:
Umbi bidara upas dicuci bersih, lalu
diparut. tambahkan air matang lalu diperas dan disaring. air saringan ditambah
madu. ramuan tersebut dibagi 3 bagian
untuk diminum 3 kali sehari. ampas parutan umbi bidara upas ditempel pada
bagian yang sakit.
b)
Resep 2
·
Bahan
:
-
Daun
ekor kucing secukupnya
-
kencur
secukupnya
·
Pemakaian
:
Daun ekor kucing dan kencur dicuci
bersih, kemudian ditumbuk halus sampai menjadi bubur. ramuan ini dioleskan pada
bagian badan yang luka.
c)
Resep 3
·
Bahan
:
-
Biji
jarak wulung secukupnya
·
Pemakaian
:
Biji jarak wulung dikeringkan, kemudian
dipres atau ditumbuk. setelah itu, diperas hingga keluar minyaknya. oleskan
pada bagian yang terkena luka.
d)
Resep 4
·
Bahan
:
-
Daun
jarak pagar secukupnya
·
Pemakaian
:
Daun jarak pagar dilumatkan, kemudian
ditambah air sedikit sampai menjadi bubur. bubur daun jarak ini ditempelkan
pada bagian yang sakit dan di balut.
3)
Penanggulangan
Wabah
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar
dimana - mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang
berguna, mandiri, produktif dan percaya diri.
Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode
pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari
rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode
pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita
dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode
tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat
dipisahkan.
4)
Implikasi
Bencana
Setiap penundaan pada jadwal
pengobatan akan berakibat serius. Dalam keadaan perang, seringkali diagnosa dan
pengobatan penderita kusta terabaikan.
5)
Tindakan
Internasional
Pengawasan internasional dibatasi pada kasus
menular yang belum mendapatkan pengobatan. Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama
WHO.
J.
Kesimpulan
& Saran
a. Kesimpulan
Penyakit kusta merupakan penyakit menular. Tetapi cara
penularannya tidak mudah dan masa penularannya lama. Penyakit kusta menular
dengan adanya kontak langsung dengan penderita dalam jangka waktu yang lama. Penyakit ini bisa menimbulkan kecacatan pada penderita
karena bakteri menyerang saraf penderita kusta. Penyakit kusta ini bisa
disembuhkan apabila ditemukan tanda-tanda kusta dan diobati sejak dini.
Kusta banyak terdapat pada negara berkembang atau negara
miskin. Dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih, fasilitas kebersihan yang
tidak memadai dan asupan gizi yang buruk sehingga menyebabkan daya tahan tubuh
rendah. Rentan terhadap penyakit infeksi seperti kusta.
b. Saran
Terapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), hindari kontak langsung dengan penderita kusta,
memeriksakan diri apabila muncul tanda – tanda kusta. Bila ditemukan sejak dini, kusta
dapat disembuhkan dan tidak sampai menimbulkan kecacatan pada tubuh.
K.
Referensi
Arsyad,
Yuniarti., Indropo Agusni, Anis Irawan Anwar. “Perbandingan Titer Antibodi Anti Phenolic Glycolipid-1 Pada Narakontak Serumah Dan Narakontak Tidak
Serumah Penderita Kusta Tipe Multibasiler Di Daerah Endemik Kusta, Kabupaten
Majene, Sulawesi Barat.” Sulawesi Barat.
Brooks, Geo F., Janet S. Butel, Stephen A. Morse. “Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi
Kedokteran edisi 23.” Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 2004.
Chin, James. “Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17, terj. Dr. I Nyoman
Kandun, MPH. 2000.
Farida, Nur. “Kid and Global Disease, Penyakit-Penyakit Saat Kini.” Jakarta:
Grasindo, 2010.
Hariana, Arief. “812 Resep Untuk Mengobati 236 Penyakit.” Depok: Penebar Swadaya,
2006.
Laksmintari, puspita. “Penyakit Kulit dan Kelamin.” Jakarta :
Sunda Kelapa Pustaka, 2007.
Liliyani. “Gambaran
Klinis Fungsi Kaki Penderita Cacat Kusta ‘Drop Foot Pasca Bedah Tpt’ Periode
Januari 1991 – Desember 1995 Di Rs Kusta Tugurejo Semarang.” Rehabilitasi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Mansjoer, Arif, et.al. “Kapita Selekta
Kedokteran Edisi III (Jilid 2).” Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.
“Manual Pemberantasan
Penyakit Menular.” http://medizzhopindonesia.wordpress.com/article-kesehatan/ (akses tanggal 7 maret 2014)
Muslih, Sulchan, Mifbakhudin. “Studi Epidemiologi Penyakit Kusta Di Daerah
Nelayan Public Health Center Kragan I Kabupaten Rembang.” Kesehatan
Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-musliha2a0-5191-1-abstrak.pdf, (akses tanggal 7 Maret 2014)
Novel, Sinta Sasika. “Ensiklopedi Penyakit Menular dan Infeksi.” Yogyakarta: Familia,
2011.
“Penyakit
Hansen.” http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen (akses tanggal
7 Maret 2014)
“Penyakit
Kusta.” http://ebookbrowsee.net/chapter-ii-pdf-d90320567 (akses tanggal 7
maret 2014), Universitas Sumatera.
“Profil Program
Pemberantasan Penyakit Kusta Kabupaten Kayong Utara 2009-2011.” Dinas
Kesehatan Kabupaten Kayong Utara. www.dinaskesehatankayongutara.wordpress.com
Rahmawati, Asri., Willy Sandhika, Indropo
Agusni. “Pengaruh Pengobatan
Anti Kusta Terhadap
Gambaran Histopatologi
Penyakit Kusta.” Universitas
Airlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar