Senin, 07 April 2014

PAPER DOWN SYNDROME



A.      Identifikasi Masalah
Seorang anak penderita down syndrome atau tunagrahita bernama Amelia yang sudah tiga tahun lamanya menjalani perawatan rutin di bagian nephrology Rumah Sakit Anak di Philadelphia. Pada awal tahun 2012 Amelia menjalani pemeriksaan dalam rangka kemungkinan untuk mendapatkan pengobatan melalui metode transplantasi. Akan tetapi tim dokter yang mengevaluasi setiap kasus pengobatan transplantasi dirumah sakit itu menolak melakukan transplantasi kepada Amelia karena anak tersebut menderita down syndrome atau tunagrahita.
Amelia telah mengalami kerusakan pada otaknya dan dia bermasalah dengan ginjalnya sehingga dia membutuhkan tranplantasi ginjal baru untuk melanjutkan hidupnya.
Karena sistem kekebalan atau daya tahan tubuh si penderita pun lebih lamban dan lemah dari anak normal. Hingga, ada risiko-risiko tertentu dan sedikit rentan terhadap penyakit. Beberapa diantara mereka bahkan memiliki penyakit jantung, ‘alzheimer’, dan leukimia, yang juga bawaan lahir.
Dengan kondisinya yang demikian, kadang ditemui pula komplikasi penyakit pada si penderita. Komplikasinya tentu berbeda pada pada setiap penderita; ada yang punya penyakit jantung bawaan, penyakit hormon atau hipotiroid dimana kadar hormon tiroksinnya rendah, ada pula yang fungsi pendengarannya tak baik lantaran terakumulasinya cairan pada tube eustachius-nya yang menyempit. Sementara pada fungsi penglihatan, sering ditemui ada myopi atau presbiopi dan mata jereng
Perubahan dan kerusakan susunan syaraf otak bisa muncul sejak dalam kandungan dan setelahnya. Para ahli juga mengidentifikasi beberapa pemicu ketika bayi belum lahir. Kekurangan zat-zat tertentu yang menunjang perkembangan sel syaraf seperti Iodium terbukti menjadi salah satu faktor.

B.       Kenapa ???
Down Syndrome (DS) atau yang juga disebut dengan trisomy 21 adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya kelainan kromosom pada saat kehamilan berlangsung. Down Syndrome dapat terjadi pada anak dengan perbandingan 1:800 anak.
1)      Genetik
Berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom down.
2)      Radiasi
Hasil dari berbagai penelitian bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi.
3)      Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya kelainan kromosom (kejadian non-disjunctional).
4)      Autoimun
Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom down adalah autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966, secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down dengan ibu control yang umurnya sama.
5)      Umur Ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan kelainan pada kromosom. Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kelainan kromosom.
6)      Umur Ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, juga dilaporkan adanya pengaruh dari umur ayah. Penelitian sitogenetik pada prang tua dari anak dengan sindrom down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.

C.      Kaitan Dengan Etika
Alasan medis yang menjadi suatu bentuk ketidakadilan dan arogansi yang mengatasnamakan ilmu kedokteran. Tim dokter disini sering menyimpulkan sendiri apa yang mereka lihat. Secara fisik memang Amelia seorang penderita sindrom down. Akan tetapi dilain sisi dia membutuhkan pertolongan dokter untuk melakukan transplantasi ginjalnya. Sementara perhitungan peluang untuk hidup jika Amelia tak mendapatkan transplantasi ginjal bahkan lebih buruk, karena estimasi umurnya hanya tinggal 6 bulan jika ia tak dicangkok ginjal.

D.      Sisi Hukum
Ketika dokter mengatakan tak mau mengambil risiko dan menolak transplantasi untuk anak tunagrahita, maka sebenarnya tindakan itu telah merampas hak sang anak untuk mendapatkan kesempatan dan peluang atas kesehatannya. Dalam konteks hak asasi, hak menentukan pilihan ada di tangan orang tua Amelia. Dalam konteks otoritas medis, para dokter punya hak untuk menyarankan, tapi sebenarnya tetap tak bisa menolak jika pasien atau orang tua pasien dalam kasus Amelia, ingin menentukan sikap sendiri. Tapi dalam kasus Amelia, dokter memakai argumen medis untuk menolak hak pasien.

E.       Sisi Agama
Orang tua yang menghargai terhadap agamanya, orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik (down syndrome). Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita down syndrome. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.

F.       Seharusnya Bagaimana???
Anak dengan down syndrome diperlukan penanganan secara multidisiplin. Selain penanganan secara medis, pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian, disamping partisipasi dari keluarganya. 44% kasus dengan down syndrome hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai umur 68 tahun. Berbagai faktor berpengaruh terhadap harapan hidup penderita down syndrome.
Dalam kasus tersebut, seharusnya Tim dokter melakukan transplantasi ginjal pada Amelia. Walaupun resikonya tinggi karena Amelia sudah mengalami kerusakan otak. Kita tak pernah tahu pasti masa depan. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada hidup kita esok hari. Mati atau hidup bukan manusia yang menentukan. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan. Ada banyak hal yang sebenarnya tak perlu dipertentangkan jika kita bisa menempatkan duduk perkaranya secara proporsional dan tidak mencampuradukkan satu dengan lainnya. Jelas tak bisa dipahami jika perkara hak asasi lalu mengalami diskriminasi dengan alasan atau argumen medis yang membuatnya menjadi tampak benar.



DAFTAR PUSTAKA

Soetjiningsih. “Tumbuh Kembang Anak.” Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995. Hal 211.

Down Syndrome. http://general-media.blogspot.com/2008/07/down-syndrome.html (akses tanggal 7 April 2014)

Darma, Iman. “Perlakukan Anak Down Syndrome Seperti Anak Normal.” http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Perlakukan-Anak-Down-Syndrome-Seperti-Anak-Normal/ (akses tanggal 7 April 2014)



Diterbitkan pada Senin, 18 Maret 2013 09:22 | Ditulis oleh FX Rudy Gunawan

Tidak semua negara maju memperlakukan penyandang disabilitas dengan baik dan setara. Mungkin kondisi aksesibilitas dan fasilitas untuk para penyandang disabilitas memang jauh lebih baik, tapi itu hanya salah satu aspek dari keseluruhan persoalan yang dihadapi para penyandang disabilitas.
Berbagai persoalan di luar urusan sarana dan prasarana fisik kerap belum tersentuh dalam kebijakan pemerintah negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan negara maju lainnya. Kita kerap membandingkan secara kontras berbagai perbedaan hanya berdasar pada apa yang terlihat (fisik), sehingga negara berkembang seakan begitu jauh tertinggal.
Negara maju tak selalu lebih baik
Hal yang lebih bersifat nonfisik seperti perlakuan terhadap para penyandang disabilitas di berbagai wilayah kehidupan kerap tak terdeteksi dengan baik. Dalam wilayah nonfisik ini sebenarnya perbedaan antara negara maju dan negara berkembang bisa saja tak jauh berbeda. Bukan tak mungkin dalam kasus tertentu kondisi negara berkembang lebih baik.
Kemungkinan-kemungkinan seperti itu kadang terbukti ketika terjadi kasus-kasus yang memperlihatkan perlakuan tidak adil atau diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, baik di bidang kesehatan, pendidikan, perekonomian, maupun wilayah kehidupan lainnya. Dan di era internet kini, diseminasi informasi kasus-kasus ketidakadilan atau diskriminasi menjadi jauh lebih cepat dan mudah, sehingga lebih banyak kasus terungkap ke publik dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.
Salah satu yang belum lama ini tersebar adalah kasus yang terjadi pada seorang anak tunagrahita atau down syndrome di sebuah rumah sakit di Philadelphia, Amerika Serikat. Banyak orang mungkin tak membayangkan di negara seperti Amerika masih terjadi kasus ketidakadilan oleh sebuah rumah sakit terhadap anak penyandang disabilitas. Namun kita tak boleh lupa, sejarah Amerika memang penuh dengan lembar hitam diskriminasi rasial antara kulit putih dan kulit hitam. Dengan latar historis seperti itu, residu dan bias-bias diskriminasi sekecil apa pun tetap ada yang tertinggal.

Kasus Amelia, Sebuah Pembelajaran
Kasus Amelia terjadi di sebuah rumah sakit anak di Philadelphia. Amelia seorang anak down syndrome yang sudah tiga tahun menjalani perawatan rutin di bagian nephrology rumah sakit itu. Pada awal tahun 2012 Amelia kembali menjalani pemeriksaan dalam rangka kemungkinan untuk mendapatkan pengobatan melalui metode transplantasi. Dokter yang merawat kemudian meminta kedua orang tua Amelia menemui tim dokter yang mengevaluasi setiap kasus pengobatan transplantasi sebagai bagian prosedural yang harus dilalui pasien sebelum diputuskan bisa atau tidak menjalani transplantasi. Orang tua Amelia pun segera membawa Amelia yang tengah tertidur di tempat tidur dorong ke ruangan yang dimaksudkan dokter itu. Amelia tetap tertidur lelap ketika memasuki ruangan evaluasi tim dokter yang akan menyampaikan hasil evaluasi.
Tak berapa lama menunggu, tim dokter yang dipimpin seorang dokter lelaki 60-an tahun beraksen Peru, dengan kumis dan rambut cokelat, memasuki ruangan membawa formulir-formulir hasil evaluasi. Ibunda Amelia melirik dan mencoba mencuri lihat dengan takut-takut tumpukan kertas saat ketua tim dokter duduk dan meletakkan kertas itu di atas meja. Dokter itu seperti membawa sebuah perasaan tak enak di hati ibu Amelia, ekspresi wajahnya yang datar seakan sudah menjadi firasat tersendiri. Begitu pula dengan gaya bicaranya yang singkat dan pendek-pendek. Apalagi ketika satu bagian dalam formulir yang diberi stabilo merah terbaca olehnya.
Keterbelangan mental. Itulah bagian yang ditandai stabilo. Lalu tak jauh di bawahnya ada lagi satu bagian yang juga di tandai stabilo. Terbaca juga oleh ibu Amelia: kerusakan otak. Dua bagian yang ditandai dengan stabilo itu makin memperparah perasaan tak enak hatinya. Situasi terasa menjadi lebih tegang saat itu. Ayah Amelia pun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tapi ia hanya menunduk dan membuang pandangan ke lantai dengan mata berputar-putar.
Ibu Amelia mencoba tetap tenang dan fokus pada apa yang akan disampaikan tim dokter. Tapi ketika mendengar dokter menyatakan Amelia tak bisa menerima transplantasi karena ia anak dengan keterbelakangan mental, seketika ketenangannya berantakan. Ia gemetar dan matanya mulai berair. Tubuhnya serasa diguncangkan angin ribut. “Benar Anda menyatakan anak saya tak bisa menerima transplantasi karena ia tunagrahita? Benar begitu?” Dan tangisnya pun tak terbendung lagi saat dokter mengiyakan dengan datar. Lalu kemarahan tiba-tiba meledak karena harapan sudah begitu besar untuk mendapatkan transplantasi. “Saya dari keluarga besar, saya tidak perlu menunggu masuk daftar waiting list, saya akan mencari donor sendiri dari keluarga! Saya hanya ingin Amelia mendapat transplantasi!!”
Kualitas Hidup Anak Tunagrahita
Dokter itu menjawab perlahan, suaranya seperti mengeja kata demi kata dengan datar tapi malah semakin memuntabkan amarah yang sudah meletup. “Bukan itu masalahnya. Amelia tidak bisa ditransplantasi karena masalah kualitas hidupnya terkait dengan masalah keterbelakangan mental.” Suara dokter itu sungguh terasa sangat tak berperasaan. Ibunda Amelia tiba-tiba meradang mendengar dokter itu mengatakan soal kualitas hidup Amelia. “Stop! Jangan pernah bicara soal kualitas hidup anakku. Anda tak pernah tahu seperti apa kualitas hidupnya! Saya dan Amelia sudah melewati banyak rintangan dan cobaan sepanjang hidupnya. Anda jangan sok tahu! Sekarang katakan saja kepada siapa kami harus bicara, karena saya mau Amelia tetap mendapatkan transplantasi! Tak peduli apa yang harus kami hadapi!”
Ibunda Amelia menyergah penuh kemarahan karena sungguh merasa diperlakukan tidak adil. Dokter itu tak menjawab, tapi seorang pekerja sosial yang menjadi anggota tim buka suara. “Apa Anda tahu bahwa transplantasi itu tidak selamanya? Dalam waktu 12 tahun Amelia harus ditransplantasi lagi jika ia bisa bertahan selama itu. Apa Anda tahu pengobatan apa lagi yang harus dijalaninya?”
Ibunda Amelia menjawab cepat dan keras. “Ya, saya tahu! Saya sudah melakukan semua riset untuk Amelia!” Si pekerja sosial sedikit mengernyitkan kening dan membalas, “Lantas bagaimana kalau dia umur 13 dan kalian tak bisa ada di dekatnya lagi? Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan mengurusnya?” Pertanyaan kurang ajar itu itu makin membuat ibunda Amelia meradang. “Kalau kamu mati besok apa yang akan terjadi? Siapa yang akan mengurus anakmu? Siapa yang akan bertanggungjawab atas pekerjaan kamu? Kita semua tak ada yang bisa meramalkan masa depan! Dan kami tidak ingin jadi peramal masa depan Amelia. Yang kami tahu, Amelia tak akan punya masa depan jika ia tak menjalani transplantasi!”
Diskriminasi dengan Alasan Medis
Apa yang terjadi selanjutnya adalah penjelasan teknis dunia media dari dokter ketua tim tentang betapa berbahaya operasi transplantasi untuk anak dengan gangguan mental seperti Amelia. “Pengobatan yang harus dijalani Amelia setelah proses transplantasi sangat berbahaya. Bisa mengakibatkan kerusakan otak jika dosisnya tak tepat, jadi harus sangat hati-hati.” Begitu antara lain alasan selanjutnya yang disampaikan dokter itu kepada ibunda Amelia. Dan karena Amelia sudah mengalami kerusakan otak, maka mereka tak mau mengambil risiko untuk melakukan transplantasi ginjal.
Alasan medis ini sungguh menjadi suatu bentuk ketidakadilan dan arogansi yang mengatasnamakan ilmu kedokteran. Sementara apa yang disampaikan ibunda Amelia jelas lebih mengena dan substansial. Kita tak pernah tahu pasti masa depan. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada hidup kita esok hari. Mati atau hidup bukan manusia yang menentukan. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan.
Ketika dokter itu mengatakan tak mau mengambil risiko dan menolak transplantasi untuk anak tunagrahita, maka sebenarnya tindakan itu telah merampas hak sang anak untuk mendapatkan kesempatan dan peluang atas kesehatannya. Sementara perhitungan peluang untuk hidup jika Amelia tak mendapatkan transplantasi ginjal bahkan lebih buruk, karena estimasi umurnya hanya tinggal 6 bulan jika ia tak dicangkok ginjal. Mana yang lebih baik? Mana yang lebih buruk? Cangkok atau tidak? Mana yang lebih bijak? Mana yang arogan dan sewenang-wenang? Menolak pencangkokan dan membiarkannya Amelia meninggal 6 bulan kemudian atau bersedia melakukan pencangkokan dan tak tahu apa yang akan terjadi? 
Dalam konteks hak asasi, hak menentukan pilihan ada di tangan orang tua Amelia. Dalam konteks otoritas medis, para dokter punya hak untuk menyarankan, tapi sebenarnya tetap tak bisa menolak jika pasien atau orang tua pasien dalam kasus Amelia, ingin menentukan sikap sendiri. Tapi dalam kasus Amelia, dokter memakai argumen medis untuk menolak hak pasien. Namun persoalan ini bukanlah melulu persoalan di Philadelphia. Di banyak belahan lain dunia pasti masih banyak terjadi kasus serupa dalam berbagai versi dan bentuk.
Satu hal penting yang harus direnungkan oleh semua pihak di belahan bumi mana pun adalah apa yang ditulis ibunda Amelia di akhir kisah yang disebarkannya, yaitu: We are in the year 2012 and my child still does not have the right to live, the right to a transplant, because she is developmentally delayed. Ada banyak hal yang sebenarnya tak perlu dipertentangkan jika kita bisa menempatkan duduk perkaranya secara proporsional dan tidak mencampuradukkan satu dengan lainnya. Jelas tak bisa dipahami jika perkara hak asasi lalu mengalami diskriminasi dengan alasan atau argumen medis yang membuatnya menjadi tampak benar. Mari kita semua sama-sama merenungkan hal ini untuk masa depan yang lebih baik bagi semua penyandang disabilitas di muka bumi. *
(Rubrik Jendela 15 diffa, Maret 2012)

Selasa, 25 Maret 2014

MAKALAH KUSTA


PENYAKIT KUSTA




A.      Identifikasi dan Gambaran Epidemiologi Penyakit Kusta
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai Penyakit Kusta atau Lepra adalah penyakit kronis yang sebabkan oleh bakteri, terutama menyerang saraf tepi, kemudian menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, mata, otot, tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat.
Ø  Gambaran Epidemiologi Penyakit
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti Brazil dan Myanmar.
Pada tahun 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta di dunia terdapat di Brazil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.
Bila seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanifestasi klinis menjadi determinate dan 70% sembuh (lihat gambar 1).
 

 Kusta dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12 tahun.
Kelompok beresiko
Kelompok yang beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun.

B.       Penyebab Penyakit Kusta
Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobic, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. Waktu pembelahan M. leprae sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari kuman kusta adalah pada suhu 27°-30°C dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.

C.      Distribusi Penyakit Kusta
a.      Menurut Orang
1.      Tentang Umur
Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Insiden Rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10 – 20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur  30 – 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.
2.      Tentang Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang manusia baik pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, tetapi jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita dibandingkan perempuan. Jumlah penderita  laki-laki dewasa  biasanya 2-3 kali lebih besar daripada wanita, hal ini dihubungkan dengan aktifitas pria diluar rumah sehingga resiko tertular lebih besar. Kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak dari pada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
b.      Menurut Waktu
Pemeriksaan skin smear penderita sebagai pemeriksaan rutin sebelum dimulai MDT untuk menentukan kategori pengobatan, disamping gambaran klinis. Seleksi penderita untuk mendapat MDT yaitu : 1) semua penderita baru (PB dan MB), 2) semua penderita yang telah mendapat DDS dalam waktu lama, tetapi enyakit tetap aktif, 3) Semua penderita yang berobat kurang dari 2 tahun. Pelaksanaan MDT yaitu 1) Tipe PB (Pauci Baciler) dengan pengobatan selama 6 bulan dapat diselesaikan dalam waktu 9 bulan. Setelah selesai pengobatan penderita dinyatakan RFT (Release From Treatment) atau berhenti minum obat kusta, meskipun secara klinis lesinya lasih aktif. 2) Tipe MB (Multi Baciler) dengan pengobatan selama 2 tahun dapat diselesaikan dalam waktu 36 bulan, sesudah selesai pengobatan penderita dinyatakan RFT (berhenti minum obat kusta).
c.       Menurut Tempat
Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Pada tahun 1985 diperkirakan jumlah penderita kusta di dunia lebih dari 11 juta. Sebagian besar dari 6 negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Sedangkan di Eropa Barat dan Utara penderita ini tersebar separodik. Dengan penyakit kusta di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan yang kemungkinan masih banyaknya penderita tersembunyi atau belum diketemukan.

D.      Reservoir Penyakit Kusta
Sampai saat ini manusia merupakan satu-satunya yang diketahui berperan sebagai reservoir. Penularan kusta secara alamiah ditemukan terjadi pada monyet dan simpanse yang ditangkap di Nigeria dan Sierra Lione. Binatang Armadillo (sejenis trenggiling) yang terinfeksi secara alami yang ditemukan di Texas dan Meksiko mungkin tidak berperan dalam transmisi lepra ke manusia.

E.       Cara Penularan Penyakit Kusta
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.
Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang intim dan lama dengan penderita. Yang jelas seorang penderita yang sudah minum obat tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
a.      Faktor Sumber Penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB inipun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
b.      Faktor Kuman Kusta
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 - 9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.
c.       Faktor Daya Tahan Tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %), dari hasil penelitian menunjukkan gambaran sebagai berikut : dari 100 orang yang terpapar : 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
Penularan kusta juga dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu melalui lingkungan. Hal ini diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa adanya penurunan prevalensi kusta ternyata tidak diikuti dengan penurunan insidensi dan masih tetap adanya penderita baru yang ditemukan walaupun kasus aktif sebagai sumber infeksi telah diobati. Mycobacterium leprae mampu hidup diluar tubuh manusia dan keluar terutama dari sekret nasal. Mycobacterium leprae ditemukan pada tanah disekitar lingkungan rumah penderita, dan hal ini dibuktikan dengan salah satu penelitian menggunakan telapak kaki mencit sebagai media kultur, juga dapat dibuktikan bahwa M.leprae mampu hidup beberapa waktu di lingkungan. Mycobacterium leprae juga dapat ditemukan pada debu rumah penderita, air untuk mandi dan mencuci yang dapat menjadi sumber infeksi, akan tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lanjut.

F.       Masa Inkubasi Penyakit Kusta
Berkisar antara 9 bulan sampai 20 tahun dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih dari 50 kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan.

G.      Masa Penularan
Fakta klinis dan laboratorium membuktikan bahwa infektivitas penyakit ini hilang dalam waktu 3 bulan melalui pengobatan berkelanjutan dan teratur dengan menggunakan Dapsone (DDS) atau clofasimine atau dalam waktu 3 hari dengan menggunakan rifampin.

H.      Kekebalan dan Kerentanan
Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan tubuh untuk membentuk “cell mediated” kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes ini hanya mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas.
Komite Ahli Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Sebagai tambahan tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang kontak dengan penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta.

I.         Cara-cara Pemberantasan
1)      Tindakan Pencegahan
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta, dari hasil penelitian  dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya lebih besar  kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi  faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah, disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. 
a.      Pencegahan Primodial
Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta.
b.      Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah memiliki faktor resiko agar tidak sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya.
Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan diri ke puskesmas.
c.       Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention) 
Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau tindakan bedah.
Untuk menetapkan diagnose dini penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal sign” pada badan, yaitu :
a)      Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematousa) yang mati rasa (anestesi).
b)     Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:  
-        Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
-        Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise)
-        Gangguan fungsi otonom   : kulit kering dan retak-retak.
c)      Ditemukan Basil Tahan Asam2
Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif). Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan petugas ragu perlu dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek) :
Ø  Tanda-tanda pada kulit
1.      Bercak/Kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh
2.      Kulit mengkilap
3.      Bercak yang tidak gatal
4.      Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut.
5.      Lepuh tidak nyeri.


Ø  Tanda-tanda pada saraf
1.      Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.
2.      Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
3.      Adanya cacat (deformitas)
4.      Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh 
d.      Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi. Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif, mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya. Pencegahan tertier meliputi:
1.      Pencegahan Kecacatan
Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya.
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
Ø  Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
a)      Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
b)      Pengobatan secara teratur dan adekuat
c)      Deteksi dini adanya reaksi kusta
d)     Penatalaksanaan reaksi kusta
Ø  Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
a)      Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
b)      Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
c)      Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan.
d)     Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
e)      Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.


2.      Rehabilitasi
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

2)      Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Sekitar
a.       Laporan ke instansi Kesehatan setempat: Pelaporan kasus diwajibkan di banyak negara bagian di AS dan hampir di semua negara, Kelas 2B (lihat tentang Laporan Penyakit Menular).
b.      Isolasi: tidak diperlukan untuk penderita kusta tipe tuberkuloid; isolasi terhadap kontak harus dilakukan untuk kasus kusta lepromatosa sampai saat pengobatan kombinasi diberikan. Perawatan dirumah sakit biasanya dilakukan selama penanganan reaksi obat. Tidak diperlukan prosedur khusus untuk kasus yang dirawat di RS. Di RS umum dilperlukan ruangan terpisah untuk alasan kesopanan atau sosial. Terhadap penderita yang sudah dianggap tidak menular lagi, tidak ada pembatasan bagi yang bersangkutan untuk bekerja dan bersekolah.
c.       Disinfeksi serentak dilakukan terhadap lendir hidung penderita yang menular. Dilakukan pembersihan menyeluruh.
d.      Karantina: tidak dilakukan.
e.       Imunisasi terhadap orang-orang yang kontak: tidak dilakukan secara rutin ( lihat 9A3 di atas )
f.       Investigasi orang-orang yang kontak dari sumber infeksi: pemeriksaan dini paling bermanfaat, tetapi pemeriksaan berkala di rumah tangga dan orang-orang yang kontak dekat sebaiknya dilakukan 12 bulan sekali selama 5 tahun setelah kontak terakhir dengan kasus yang menular.
g.      Pengobatan spesifik: Mengingat sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan munculnya resistensi terhadap rifampin maka pemberian terapi kombinasi (multidrug theraphy) sangatlah penting. Rejimen minimal yang dianjurkan oleh WHO untuk kusta tipe multibasiler adalah rifampin, 600 mg sebulan sekali; dapsone (DDS), 100 mg per hari; dan clofasimine, 300 mg sebulan sekali dan 50 mg per hari Rifampin dan clofasimin yang diberikan setiap bulan harus diawasi dengan ketat. Komite Ahli Kusta WHO telah mentapkan waktu minimal yang diperlukan untuk pengobatan kusta tipe multibasiler dipersingkat menjadi 12 bulan dimana sebelumnya waktu pemberian pengobatan adalah 24 bulan. Pengobatan jika diperlukan dapat diperpanjang sampai pada pemeriksaan specimen kulit menunjukkan hasil negative.
Untuk penderita kusta tipe pausibasiler (tuberkuloid) atau untuk penderita dengan lesi kulit tunggal pemberian dosis tunggal obat kombinasi yang terdiri dari 600 mg rifampin, 400 mg ofloxaxin dan 100 mg mynocyclone sudah mencukupi. Bagi penderita tipoe pausibasiler dengan lesi kulit lebih dari satu, rejimen yang dianjurkan adalah (600 mg rifampin yang diberikan sebulan sekali dengan pengawasan yang ketat, 100 mg dapsone setiap hari), diberikan selama 6 bulan. Penderita yang sedang mendapat pengobatan harus dimonitor untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping, reaksi kusta, dan ulkus tropikum. Komplikasi yang tertentu yang terjadi selama pengobatan perlu rujuk pada pusat rujukan.
Dan juga terdapat pengobatan dengan obat herbal, yaitu sejenis obat yang menggunakan bahan dasar tumbuhan atau sejenis umbi-umbian, yang cara penggunaannya dengan dioleskan kepada lesi yang ada ditubuh penderita. Antara lain :
a)      Resep 1
·         Bahan :
-     Umbi bidara upas 3/4 jari
-     air matang 4 sendok makan
-     madu 2 sendok makan
·         Pemakaian :
Umbi bidara upas dicuci bersih, lalu diparut. tambahkan air matang lalu diperas dan disaring. air saringan ditambah madu. ramuan tersebut dibagi 3  bagian untuk diminum 3 kali sehari. ampas parutan umbi bidara upas ditempel pada bagian yang sakit.
b)     Resep 2
·         Bahan :
-        Daun ekor kucing secukupnya
-        kencur secukupnya
·         Pemakaian :
Daun ekor kucing dan kencur dicuci bersih, kemudian ditumbuk halus sampai menjadi bubur. ramuan ini dioleskan pada bagian badan yang luka.
c)      Resep 3
·         Bahan :
-        Biji jarak wulung secukupnya
·         Pemakaian :
Biji jarak wulung dikeringkan, kemudian dipres atau ditumbuk. setelah itu, diperas hingga keluar minyaknya. oleskan pada bagian yang terkena luka.
d)     Resep 4
·         Bahan :
-        Daun jarak pagar secukupnya
·         Pemakaian :
Daun jarak pagar dilumatkan, kemudian ditambah air sedikit sampai menjadi bubur. bubur daun jarak ini ditempelkan pada bagian yang sakit dan di balut.

3)      Penanggulangan Wabah
Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana - mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. 
Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. 

4)      Implikasi Bencana
Setiap penundaan pada jadwal pengobatan akan berakibat serius. Dalam keadaan perang, seringkali diagnosa dan pengobatan penderita kusta terabaikan.

5)      Tindakan Internasional
Pengawasan internasional dibatasi pada kasus menular yang belum mendapatkan pengobatan. Manfaatkan Pusat – pusat kerjasama WHO.

J.        Kesimpulan & Saran
a.    Kesimpulan
Penyakit kusta merupakan penyakit menular. Tetapi cara penularannya tidak mudah dan masa penularannya lama. Penyakit kusta menular dengan adanya kontak langsung dengan penderita dalam jangka waktu yang lama. Penyakit ini bisa menimbulkan kecacatan pada penderita karena bakteri menyerang saraf penderita kusta. Penyakit kusta ini bisa disembuhkan apabila ditemukan tanda-tanda kusta dan diobati sejak dini.
Kusta banyak terdapat pada negara berkembang atau negara miskin. Dengan kondisi lingkungan yang tidak bersih, fasilitas kebersihan yang tidak memadai dan asupan gizi yang buruk sehingga menyebabkan daya tahan tubuh rendah. Rentan terhadap penyakit infeksi seperti kusta.
b.   Saran
Terapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), hindari kontak langsung dengan penderita kusta, memeriksakan diri apabila muncul tanda – tanda kusta. Bila ditemukan sejak dini, kusta dapat disembuhkan dan tidak sampai menimbulkan kecacatan pada tubuh.




K.      Referensi
Arsyad, Yuniarti., Indropo Agusni, Anis Irawan Anwar. “Perbandingan Titer Antibodi Anti Phenolic Glycolipid-1 Pada Narakontak Serumah Dan Narakontak Tidak Serumah Penderita Kusta Tipe Multibasiler Di Daerah Endemik Kusta, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat.” Sulawesi Barat.

Brooks, Geo F., Janet S. Butel, Stephen A. Morse. “Jawetz, Melnick & Adelberg Mikrobiologi Kedokteran edisi 23.” Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 2004.

Chin, James. “Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17, terj. Dr. I Nyoman Kandun, MPH. 2000.

Farida, Nur. “Kid and Global Disease, Penyakit-Penyakit Saat Kini.” Jakarta: Grasindo, 2010.

Hariana, Arief. “812 Resep Untuk Mengobati 236 Penyakit.” Depok: Penebar Swadaya, 2006.

Laksmintari, puspita. “Penyakit Kulit dan Kelamin.” Jakarta : Sunda Kelapa Pustaka, 2007.

Liliyani. “Gambaran Klinis Fungsi Kaki Penderita Cacat Kusta ‘Drop Foot Pasca Bedah Tpt’ Periode Januari 1991 – Desember 1995 Di Rs Kusta Tugurejo Semarang.” Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Mansjoer, Arif, et.al. “Kapita Selekta Kedokteran Edisi III (Jilid 2).” Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000.

Manual Pemberantasan Penyakit Menular.” http://medizzhopindonesia.wordpress.com/article-kesehatan/ (akses tanggal 7 maret 2014)

Muslih, Sulchan, Mifbakhudin. “Studi Epidemiologi Penyakit Kusta Di Daerah Nelayan Public Health Center Kragan I Kabupaten Rembang.” Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang. http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-musliha2a0-5191-1-abstrak.pdf, (akses tanggal 7 Maret 2014)

Novel, Sinta Sasika. “Ensiklopedi Penyakit Menular dan Infeksi.” Yogyakarta: Familia, 2011.

“Penyakit Hansen.” http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen (akses tanggal 7 Maret 2014)
    
“Penyakit Kusta.” http://ebookbrowsee.net/chapter-ii-pdf-d90320567 (akses tanggal 7 maret 2014), Universitas Sumatera.

“Profil Program Pemberantasan Penyakit Kusta Kabupaten Kayong Utara 2009-2011.” Dinas Kesehatan Kabupaten Kayong Utara. www.dinaskesehatankayongutara.wordpress.com

Rahmawati, Asri., Willy Sandhika, Indropo Agusni. “Pengaruh  Pengobatan  Anti  Kusta  Terhadap  Gambaran Histopatologi  Penyakit  Kusta.” Universitas Airlangga