Senin, 07 April 2014

PAPER DOWN SYNDROME



A.      Identifikasi Masalah
Seorang anak penderita down syndrome atau tunagrahita bernama Amelia yang sudah tiga tahun lamanya menjalani perawatan rutin di bagian nephrology Rumah Sakit Anak di Philadelphia. Pada awal tahun 2012 Amelia menjalani pemeriksaan dalam rangka kemungkinan untuk mendapatkan pengobatan melalui metode transplantasi. Akan tetapi tim dokter yang mengevaluasi setiap kasus pengobatan transplantasi dirumah sakit itu menolak melakukan transplantasi kepada Amelia karena anak tersebut menderita down syndrome atau tunagrahita.
Amelia telah mengalami kerusakan pada otaknya dan dia bermasalah dengan ginjalnya sehingga dia membutuhkan tranplantasi ginjal baru untuk melanjutkan hidupnya.
Karena sistem kekebalan atau daya tahan tubuh si penderita pun lebih lamban dan lemah dari anak normal. Hingga, ada risiko-risiko tertentu dan sedikit rentan terhadap penyakit. Beberapa diantara mereka bahkan memiliki penyakit jantung, ‘alzheimer’, dan leukimia, yang juga bawaan lahir.
Dengan kondisinya yang demikian, kadang ditemui pula komplikasi penyakit pada si penderita. Komplikasinya tentu berbeda pada pada setiap penderita; ada yang punya penyakit jantung bawaan, penyakit hormon atau hipotiroid dimana kadar hormon tiroksinnya rendah, ada pula yang fungsi pendengarannya tak baik lantaran terakumulasinya cairan pada tube eustachius-nya yang menyempit. Sementara pada fungsi penglihatan, sering ditemui ada myopi atau presbiopi dan mata jereng
Perubahan dan kerusakan susunan syaraf otak bisa muncul sejak dalam kandungan dan setelahnya. Para ahli juga mengidentifikasi beberapa pemicu ketika bayi belum lahir. Kekurangan zat-zat tertentu yang menunjang perkembangan sel syaraf seperti Iodium terbukti menjadi salah satu faktor.

B.       Kenapa ???
Down Syndrome (DS) atau yang juga disebut dengan trisomy 21 adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya kelainan kromosom pada saat kehamilan berlangsung. Down Syndrome dapat terjadi pada anak dengan perbandingan 1:800 anak.
1)      Genetik
Berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom down.
2)      Radiasi
Hasil dari berbagai penelitian bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya konsepsi.
3)      Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom down. Sampai saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan terjadinya kelainan kromosom (kejadian non-disjunctional).
4)      Autoimun
Faktor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom down adalah autoimun. Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow 1966, secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down dengan ibu control yang umurnya sama.
5)      Umur Ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan kelainan pada kromosom. Perubahan endokrin seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kelainan kromosom.
6)      Umur Ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, juga dilaporkan adanya pengaruh dari umur ayah. Penelitian sitogenetik pada prang tua dari anak dengan sindrom down mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.

C.      Kaitan Dengan Etika
Alasan medis yang menjadi suatu bentuk ketidakadilan dan arogansi yang mengatasnamakan ilmu kedokteran. Tim dokter disini sering menyimpulkan sendiri apa yang mereka lihat. Secara fisik memang Amelia seorang penderita sindrom down. Akan tetapi dilain sisi dia membutuhkan pertolongan dokter untuk melakukan transplantasi ginjalnya. Sementara perhitungan peluang untuk hidup jika Amelia tak mendapatkan transplantasi ginjal bahkan lebih buruk, karena estimasi umurnya hanya tinggal 6 bulan jika ia tak dicangkok ginjal.

D.      Sisi Hukum
Ketika dokter mengatakan tak mau mengambil risiko dan menolak transplantasi untuk anak tunagrahita, maka sebenarnya tindakan itu telah merampas hak sang anak untuk mendapatkan kesempatan dan peluang atas kesehatannya. Dalam konteks hak asasi, hak menentukan pilihan ada di tangan orang tua Amelia. Dalam konteks otoritas medis, para dokter punya hak untuk menyarankan, tapi sebenarnya tetap tak bisa menolak jika pasien atau orang tua pasien dalam kasus Amelia, ingin menentukan sikap sendiri. Tapi dalam kasus Amelia, dokter memakai argumen medis untuk menolak hak pasien.

E.       Sisi Agama
Orang tua yang menghargai terhadap agamanya, orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik (down syndrome). Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita down syndrome. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.

F.       Seharusnya Bagaimana???
Anak dengan down syndrome diperlukan penanganan secara multidisiplin. Selain penanganan secara medis, pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian, disamping partisipasi dari keluarganya. 44% kasus dengan down syndrome hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai umur 68 tahun. Berbagai faktor berpengaruh terhadap harapan hidup penderita down syndrome.
Dalam kasus tersebut, seharusnya Tim dokter melakukan transplantasi ginjal pada Amelia. Walaupun resikonya tinggi karena Amelia sudah mengalami kerusakan otak. Kita tak pernah tahu pasti masa depan. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada hidup kita esok hari. Mati atau hidup bukan manusia yang menentukan. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan. Ada banyak hal yang sebenarnya tak perlu dipertentangkan jika kita bisa menempatkan duduk perkaranya secara proporsional dan tidak mencampuradukkan satu dengan lainnya. Jelas tak bisa dipahami jika perkara hak asasi lalu mengalami diskriminasi dengan alasan atau argumen medis yang membuatnya menjadi tampak benar.



DAFTAR PUSTAKA

Soetjiningsih. “Tumbuh Kembang Anak.” Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995. Hal 211.

Down Syndrome. http://general-media.blogspot.com/2008/07/down-syndrome.html (akses tanggal 7 April 2014)

Darma, Iman. “Perlakukan Anak Down Syndrome Seperti Anak Normal.” http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Perlakukan-Anak-Down-Syndrome-Seperti-Anak-Normal/ (akses tanggal 7 April 2014)



Diterbitkan pada Senin, 18 Maret 2013 09:22 | Ditulis oleh FX Rudy Gunawan

Tidak semua negara maju memperlakukan penyandang disabilitas dengan baik dan setara. Mungkin kondisi aksesibilitas dan fasilitas untuk para penyandang disabilitas memang jauh lebih baik, tapi itu hanya salah satu aspek dari keseluruhan persoalan yang dihadapi para penyandang disabilitas.
Berbagai persoalan di luar urusan sarana dan prasarana fisik kerap belum tersentuh dalam kebijakan pemerintah negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan negara maju lainnya. Kita kerap membandingkan secara kontras berbagai perbedaan hanya berdasar pada apa yang terlihat (fisik), sehingga negara berkembang seakan begitu jauh tertinggal.
Negara maju tak selalu lebih baik
Hal yang lebih bersifat nonfisik seperti perlakuan terhadap para penyandang disabilitas di berbagai wilayah kehidupan kerap tak terdeteksi dengan baik. Dalam wilayah nonfisik ini sebenarnya perbedaan antara negara maju dan negara berkembang bisa saja tak jauh berbeda. Bukan tak mungkin dalam kasus tertentu kondisi negara berkembang lebih baik.
Kemungkinan-kemungkinan seperti itu kadang terbukti ketika terjadi kasus-kasus yang memperlihatkan perlakuan tidak adil atau diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, baik di bidang kesehatan, pendidikan, perekonomian, maupun wilayah kehidupan lainnya. Dan di era internet kini, diseminasi informasi kasus-kasus ketidakadilan atau diskriminasi menjadi jauh lebih cepat dan mudah, sehingga lebih banyak kasus terungkap ke publik dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.
Salah satu yang belum lama ini tersebar adalah kasus yang terjadi pada seorang anak tunagrahita atau down syndrome di sebuah rumah sakit di Philadelphia, Amerika Serikat. Banyak orang mungkin tak membayangkan di negara seperti Amerika masih terjadi kasus ketidakadilan oleh sebuah rumah sakit terhadap anak penyandang disabilitas. Namun kita tak boleh lupa, sejarah Amerika memang penuh dengan lembar hitam diskriminasi rasial antara kulit putih dan kulit hitam. Dengan latar historis seperti itu, residu dan bias-bias diskriminasi sekecil apa pun tetap ada yang tertinggal.

Kasus Amelia, Sebuah Pembelajaran
Kasus Amelia terjadi di sebuah rumah sakit anak di Philadelphia. Amelia seorang anak down syndrome yang sudah tiga tahun menjalani perawatan rutin di bagian nephrology rumah sakit itu. Pada awal tahun 2012 Amelia kembali menjalani pemeriksaan dalam rangka kemungkinan untuk mendapatkan pengobatan melalui metode transplantasi. Dokter yang merawat kemudian meminta kedua orang tua Amelia menemui tim dokter yang mengevaluasi setiap kasus pengobatan transplantasi sebagai bagian prosedural yang harus dilalui pasien sebelum diputuskan bisa atau tidak menjalani transplantasi. Orang tua Amelia pun segera membawa Amelia yang tengah tertidur di tempat tidur dorong ke ruangan yang dimaksudkan dokter itu. Amelia tetap tertidur lelap ketika memasuki ruangan evaluasi tim dokter yang akan menyampaikan hasil evaluasi.
Tak berapa lama menunggu, tim dokter yang dipimpin seorang dokter lelaki 60-an tahun beraksen Peru, dengan kumis dan rambut cokelat, memasuki ruangan membawa formulir-formulir hasil evaluasi. Ibunda Amelia melirik dan mencoba mencuri lihat dengan takut-takut tumpukan kertas saat ketua tim dokter duduk dan meletakkan kertas itu di atas meja. Dokter itu seperti membawa sebuah perasaan tak enak di hati ibu Amelia, ekspresi wajahnya yang datar seakan sudah menjadi firasat tersendiri. Begitu pula dengan gaya bicaranya yang singkat dan pendek-pendek. Apalagi ketika satu bagian dalam formulir yang diberi stabilo merah terbaca olehnya.
Keterbelangan mental. Itulah bagian yang ditandai stabilo. Lalu tak jauh di bawahnya ada lagi satu bagian yang juga di tandai stabilo. Terbaca juga oleh ibu Amelia: kerusakan otak. Dua bagian yang ditandai dengan stabilo itu makin memperparah perasaan tak enak hatinya. Situasi terasa menjadi lebih tegang saat itu. Ayah Amelia pun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tapi ia hanya menunduk dan membuang pandangan ke lantai dengan mata berputar-putar.
Ibu Amelia mencoba tetap tenang dan fokus pada apa yang akan disampaikan tim dokter. Tapi ketika mendengar dokter menyatakan Amelia tak bisa menerima transplantasi karena ia anak dengan keterbelakangan mental, seketika ketenangannya berantakan. Ia gemetar dan matanya mulai berair. Tubuhnya serasa diguncangkan angin ribut. “Benar Anda menyatakan anak saya tak bisa menerima transplantasi karena ia tunagrahita? Benar begitu?” Dan tangisnya pun tak terbendung lagi saat dokter mengiyakan dengan datar. Lalu kemarahan tiba-tiba meledak karena harapan sudah begitu besar untuk mendapatkan transplantasi. “Saya dari keluarga besar, saya tidak perlu menunggu masuk daftar waiting list, saya akan mencari donor sendiri dari keluarga! Saya hanya ingin Amelia mendapat transplantasi!!”
Kualitas Hidup Anak Tunagrahita
Dokter itu menjawab perlahan, suaranya seperti mengeja kata demi kata dengan datar tapi malah semakin memuntabkan amarah yang sudah meletup. “Bukan itu masalahnya. Amelia tidak bisa ditransplantasi karena masalah kualitas hidupnya terkait dengan masalah keterbelakangan mental.” Suara dokter itu sungguh terasa sangat tak berperasaan. Ibunda Amelia tiba-tiba meradang mendengar dokter itu mengatakan soal kualitas hidup Amelia. “Stop! Jangan pernah bicara soal kualitas hidup anakku. Anda tak pernah tahu seperti apa kualitas hidupnya! Saya dan Amelia sudah melewati banyak rintangan dan cobaan sepanjang hidupnya. Anda jangan sok tahu! Sekarang katakan saja kepada siapa kami harus bicara, karena saya mau Amelia tetap mendapatkan transplantasi! Tak peduli apa yang harus kami hadapi!”
Ibunda Amelia menyergah penuh kemarahan karena sungguh merasa diperlakukan tidak adil. Dokter itu tak menjawab, tapi seorang pekerja sosial yang menjadi anggota tim buka suara. “Apa Anda tahu bahwa transplantasi itu tidak selamanya? Dalam waktu 12 tahun Amelia harus ditransplantasi lagi jika ia bisa bertahan selama itu. Apa Anda tahu pengobatan apa lagi yang harus dijalaninya?”
Ibunda Amelia menjawab cepat dan keras. “Ya, saya tahu! Saya sudah melakukan semua riset untuk Amelia!” Si pekerja sosial sedikit mengernyitkan kening dan membalas, “Lantas bagaimana kalau dia umur 13 dan kalian tak bisa ada di dekatnya lagi? Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan mengurusnya?” Pertanyaan kurang ajar itu itu makin membuat ibunda Amelia meradang. “Kalau kamu mati besok apa yang akan terjadi? Siapa yang akan mengurus anakmu? Siapa yang akan bertanggungjawab atas pekerjaan kamu? Kita semua tak ada yang bisa meramalkan masa depan! Dan kami tidak ingin jadi peramal masa depan Amelia. Yang kami tahu, Amelia tak akan punya masa depan jika ia tak menjalani transplantasi!”
Diskriminasi dengan Alasan Medis
Apa yang terjadi selanjutnya adalah penjelasan teknis dunia media dari dokter ketua tim tentang betapa berbahaya operasi transplantasi untuk anak dengan gangguan mental seperti Amelia. “Pengobatan yang harus dijalani Amelia setelah proses transplantasi sangat berbahaya. Bisa mengakibatkan kerusakan otak jika dosisnya tak tepat, jadi harus sangat hati-hati.” Begitu antara lain alasan selanjutnya yang disampaikan dokter itu kepada ibunda Amelia. Dan karena Amelia sudah mengalami kerusakan otak, maka mereka tak mau mengambil risiko untuk melakukan transplantasi ginjal.
Alasan medis ini sungguh menjadi suatu bentuk ketidakadilan dan arogansi yang mengatasnamakan ilmu kedokteran. Sementara apa yang disampaikan ibunda Amelia jelas lebih mengena dan substansial. Kita tak pernah tahu pasti masa depan. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada hidup kita esok hari. Mati atau hidup bukan manusia yang menentukan. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan.
Ketika dokter itu mengatakan tak mau mengambil risiko dan menolak transplantasi untuk anak tunagrahita, maka sebenarnya tindakan itu telah merampas hak sang anak untuk mendapatkan kesempatan dan peluang atas kesehatannya. Sementara perhitungan peluang untuk hidup jika Amelia tak mendapatkan transplantasi ginjal bahkan lebih buruk, karena estimasi umurnya hanya tinggal 6 bulan jika ia tak dicangkok ginjal. Mana yang lebih baik? Mana yang lebih buruk? Cangkok atau tidak? Mana yang lebih bijak? Mana yang arogan dan sewenang-wenang? Menolak pencangkokan dan membiarkannya Amelia meninggal 6 bulan kemudian atau bersedia melakukan pencangkokan dan tak tahu apa yang akan terjadi? 
Dalam konteks hak asasi, hak menentukan pilihan ada di tangan orang tua Amelia. Dalam konteks otoritas medis, para dokter punya hak untuk menyarankan, tapi sebenarnya tetap tak bisa menolak jika pasien atau orang tua pasien dalam kasus Amelia, ingin menentukan sikap sendiri. Tapi dalam kasus Amelia, dokter memakai argumen medis untuk menolak hak pasien. Namun persoalan ini bukanlah melulu persoalan di Philadelphia. Di banyak belahan lain dunia pasti masih banyak terjadi kasus serupa dalam berbagai versi dan bentuk.
Satu hal penting yang harus direnungkan oleh semua pihak di belahan bumi mana pun adalah apa yang ditulis ibunda Amelia di akhir kisah yang disebarkannya, yaitu: We are in the year 2012 and my child still does not have the right to live, the right to a transplant, because she is developmentally delayed. Ada banyak hal yang sebenarnya tak perlu dipertentangkan jika kita bisa menempatkan duduk perkaranya secara proporsional dan tidak mencampuradukkan satu dengan lainnya. Jelas tak bisa dipahami jika perkara hak asasi lalu mengalami diskriminasi dengan alasan atau argumen medis yang membuatnya menjadi tampak benar. Mari kita semua sama-sama merenungkan hal ini untuk masa depan yang lebih baik bagi semua penyandang disabilitas di muka bumi. *
(Rubrik Jendela 15 diffa, Maret 2012)