A.
Identifikasi
Masalah
Seorang
anak penderita down syndrome atau tunagrahita bernama Amelia yang sudah tiga
tahun lamanya menjalani perawatan rutin di bagian nephrology Rumah Sakit Anak
di Philadelphia. Pada awal tahun 2012 Amelia menjalani pemeriksaan dalam rangka
kemungkinan untuk mendapatkan pengobatan melalui metode transplantasi. Akan
tetapi tim dokter yang mengevaluasi setiap kasus pengobatan transplantasi
dirumah sakit itu menolak melakukan transplantasi kepada Amelia karena anak
tersebut menderita down syndrome atau tunagrahita.
Amelia
telah mengalami kerusakan pada otaknya dan dia bermasalah dengan ginjalnya
sehingga dia membutuhkan tranplantasi ginjal baru untuk melanjutkan hidupnya.
Karena
sistem
kekebalan atau daya tahan tubuh si penderita pun lebih lamban dan lemah dari anak
normal. Hingga, ada risiko-risiko tertentu dan sedikit rentan terhadap
penyakit. Beberapa diantara mereka bahkan memiliki
penyakit jantung, ‘alzheimer’, dan leukimia, yang juga bawaan lahir.
Dengan
kondisinya yang demikian, kadang ditemui pula komplikasi penyakit pada si
penderita. Komplikasinya tentu berbeda pada pada setiap penderita; ada yang
punya penyakit jantung bawaan, penyakit hormon atau hipotiroid dimana kadar
hormon tiroksinnya rendah, ada pula yang fungsi pendengarannya tak baik
lantaran terakumulasinya cairan pada tube eustachius-nya yang menyempit.
Sementara pada fungsi penglihatan, sering ditemui ada myopi atau presbiopi dan
mata jereng
Perubahan dan kerusakan susunan syaraf otak bisa muncul sejak
dalam kandungan dan setelahnya. Para ahli juga mengidentifikasi beberapa pemicu
ketika bayi belum lahir. Kekurangan zat-zat tertentu yang menunjang
perkembangan sel syaraf seperti Iodium terbukti menjadi salah satu faktor.
B.
Kenapa
???
Down
Syndrome (DS) atau yang juga disebut dengan trisomy 21 adalah suatu kondisi
keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya
kelainan kromosom pada saat kehamilan berlangsung. Down Syndrome dapat terjadi
pada anak dengan perbandingan 1:800 anak.
1) Genetik
Berdasarkan
atas hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan adanya peningkatan risiko
berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom down.
2) Radiasi
Hasil
dari berbagai penelitian bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
sindrom down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelum terjadinya
konsepsi.
3) Infeksi
Infeksi
juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom down. Sampai saat
ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan
terjadinya kelainan kromosom (kejadian non-disjunctional).
4) Autoimun
Faktor
lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom down adalah autoimun.
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian
Fialkow 1966, secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid
pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down dengan ibu control yang
umurnya sama.
5) Umur
Ibu
Apabila
umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat
menyebabkan kelainan pada kromosom. Perubahan endokrin seperti meningkatnya
sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi
estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan
secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormon) dan FSH (Follicular Stimulating
Hormon) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya kelainan kromosom.
6) Umur
Ayah
Selain
pengaruh umur ibu terhadap sindrom down, juga dilaporkan adanya pengaruh dari
umur ayah. Penelitian sitogenetik pada prang tua dari anak dengan sindrom down
mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya.
Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.
C.
Kaitan
Dengan Etika
Alasan
medis yang menjadi suatu bentuk ketidakadilan dan arogansi yang mengatasnamakan
ilmu kedokteran. Tim dokter disini sering menyimpulkan sendiri apa yang mereka
lihat. Secara fisik memang Amelia seorang penderita sindrom down. Akan tetapi
dilain sisi dia membutuhkan pertolongan dokter untuk melakukan transplantasi
ginjalnya. Sementara perhitungan peluang untuk hidup jika Amelia tak
mendapatkan transplantasi ginjal bahkan lebih buruk, karena estimasi umurnya
hanya tinggal 6 bulan jika ia tak dicangkok ginjal.
D.
Sisi
Hukum
Ketika
dokter mengatakan tak mau mengambil risiko dan menolak transplantasi untuk anak
tunagrahita, maka sebenarnya tindakan itu telah merampas hak sang anak untuk
mendapatkan kesempatan dan peluang atas kesehatannya. Dalam konteks hak asasi,
hak menentukan pilihan ada di tangan orang tua Amelia. Dalam konteks otoritas medis,
para dokter punya hak untuk menyarankan, tapi sebenarnya tetap tak bisa menolak
jika pasien atau orang tua pasien dalam kasus Amelia, ingin menentukan sikap
sendiri. Tapi dalam kasus Amelia, dokter memakai argumen medis untuk menolak
hak pasien.
E.
Sisi
Agama
Orang tua yang menghargai terhadap
agamanya, orang tua yang lebih intens dalam melakukan praktek agama cenderung
bersikap lebih menerima anak-anak mereka yang terhambat secara fisik (down syndrome). Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada
Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan,
kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak
penderita down syndrome. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini
agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita.
F.
Seharusnya
Bagaimana???
Anak
dengan down syndrome diperlukan
penanganan secara multidisiplin. Selain penanganan secara medis, pendidikan
anak juga perlu mendapat perhatian, disamping partisipasi dari keluarganya. 44%
kasus dengan down syndrome hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai umur 68 tahun.
Berbagai faktor berpengaruh terhadap harapan hidup penderita down syndrome.
Dalam
kasus tersebut, seharusnya Tim dokter melakukan transplantasi ginjal pada
Amelia. Walaupun resikonya tinggi karena Amelia sudah mengalami kerusakan otak.
Kita
tak pernah tahu pasti masa depan. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada
hidup kita esok hari. Mati atau hidup bukan manusia yang menentukan. Mati atau
hidup ada di tangan Tuhan. Ada banyak hal yang sebenarnya tak perlu
dipertentangkan jika kita bisa menempatkan duduk perkaranya secara proporsional
dan tidak mencampuradukkan satu dengan lainnya. Jelas tak bisa dipahami jika
perkara hak asasi lalu mengalami diskriminasi dengan alasan atau argumen medis
yang membuatnya menjadi tampak benar.
DAFTAR
PUSTAKA
Soetjiningsih.
“Tumbuh Kembang Anak.” Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995. Hal 211.
“Down Syndrome.” http://general-media.blogspot.com/2008/07/down-syndrome.html (akses
tanggal 7 April 2014)
Darma,
Iman. “Perlakukan Anak Down Syndrome Seperti Anak Normal.” http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Perlakukan-Anak-Down-Syndrome-Seperti-Anak-Normal/
(akses tanggal 7 April 2014)
Diterbitkan
pada Senin, 18 Maret 2013 09:22 | Ditulis oleh FX Rudy Gunawan
Tidak semua negara
maju memperlakukan penyandang disabilitas dengan baik dan setara. Mungkin
kondisi aksesibilitas dan fasilitas untuk para penyandang disabilitas memang
jauh lebih baik, tapi itu hanya salah satu aspek dari keseluruhan persoalan
yang dihadapi para penyandang disabilitas.
Berbagai persoalan
di luar urusan sarana dan prasarana fisik kerap belum tersentuh dalam kebijakan
pemerintah negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan negara maju lainnya.
Kita kerap membandingkan secara kontras berbagai perbedaan hanya berdasar pada
apa yang terlihat (fisik), sehingga negara berkembang seakan begitu jauh
tertinggal.
Negara maju tak selalu lebih baik
Hal yang lebih bersifat nonfisik seperti perlakuan terhadap
para penyandang disabilitas di berbagai wilayah kehidupan kerap tak terdeteksi
dengan baik. Dalam wilayah nonfisik ini sebenarnya perbedaan antara negara maju
dan negara berkembang bisa saja tak jauh berbeda. Bukan tak mungkin dalam kasus
tertentu kondisi negara berkembang lebih baik.
Kemungkinan-kemungkinan seperti itu kadang terbukti ketika
terjadi kasus-kasus yang memperlihatkan perlakuan tidak adil atau diskriminasi
terhadap penyandang disabilitas, baik di bidang kesehatan, pendidikan,
perekonomian, maupun wilayah kehidupan lainnya. Dan di era internet kini,
diseminasi informasi kasus-kasus ketidakadilan atau diskriminasi menjadi jauh
lebih cepat dan mudah, sehingga lebih banyak kasus terungkap ke publik
dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.
Salah satu yang belum lama ini tersebar adalah kasus yang
terjadi pada seorang anak tunagrahita atau down syndrome di sebuah rumah sakit
di Philadelphia, Amerika Serikat. Banyak orang mungkin tak membayangkan di
negara seperti Amerika masih terjadi kasus ketidakadilan oleh sebuah rumah
sakit terhadap anak penyandang disabilitas. Namun kita tak boleh lupa, sejarah
Amerika memang penuh dengan lembar hitam diskriminasi rasial antara kulit putih
dan kulit hitam. Dengan latar historis seperti itu, residu dan bias-bias
diskriminasi sekecil apa pun tetap ada yang tertinggal.
Kasus
Amelia, Sebuah Pembelajaran
Kasus Amelia terjadi
di sebuah rumah sakit anak di Philadelphia. Amelia seorang anak down syndrome
yang sudah tiga tahun menjalani perawatan rutin di bagian nephrology rumah
sakit itu. Pada awal tahun 2012 Amelia kembali menjalani pemeriksaan dalam
rangka kemungkinan untuk mendapatkan pengobatan melalui metode transplantasi.
Dokter yang merawat kemudian meminta kedua orang tua Amelia menemui tim dokter
yang mengevaluasi setiap kasus pengobatan transplantasi sebagai bagian
prosedural yang harus dilalui pasien sebelum diputuskan bisa atau tidak
menjalani transplantasi. Orang tua Amelia pun segera membawa Amelia yang tengah
tertidur di tempat tidur dorong ke ruangan yang dimaksudkan dokter itu. Amelia
tetap tertidur lelap ketika memasuki ruangan evaluasi tim dokter yang akan
menyampaikan hasil evaluasi.
Tak berapa lama
menunggu, tim dokter yang dipimpin seorang dokter lelaki 60-an tahun beraksen
Peru, dengan kumis dan rambut cokelat, memasuki ruangan membawa
formulir-formulir hasil evaluasi. Ibunda Amelia melirik dan mencoba mencuri
lihat dengan takut-takut tumpukan kertas saat ketua tim dokter duduk dan
meletakkan kertas itu di atas meja. Dokter itu seperti membawa sebuah perasaan
tak enak di hati ibu Amelia, ekspresi wajahnya yang datar seakan sudah menjadi
firasat tersendiri. Begitu pula dengan gaya bicaranya yang singkat dan
pendek-pendek. Apalagi ketika satu bagian dalam formulir yang diberi stabilo
merah terbaca olehnya.
Keterbelangan
mental. Itulah bagian yang ditandai stabilo. Lalu tak jauh di bawahnya ada lagi
satu bagian yang juga di tandai stabilo. Terbaca juga oleh ibu Amelia:
kerusakan otak. Dua bagian yang ditandai dengan stabilo itu makin memperparah
perasaan tak enak hatinya. Situasi terasa menjadi lebih tegang saat itu. Ayah
Amelia pun tak bisa menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. Tapi ia hanya
menunduk dan membuang pandangan ke lantai dengan mata berputar-putar.
Ibu Amelia mencoba
tetap tenang dan fokus pada apa yang akan disampaikan tim dokter. Tapi ketika
mendengar dokter menyatakan Amelia tak bisa menerima transplantasi karena ia
anak dengan keterbelakangan mental, seketika ketenangannya berantakan. Ia
gemetar dan matanya mulai berair. Tubuhnya serasa diguncangkan angin ribut.
“Benar Anda menyatakan anak saya tak bisa menerima transplantasi karena ia
tunagrahita? Benar begitu?” Dan tangisnya pun tak terbendung lagi saat dokter
mengiyakan dengan datar. Lalu kemarahan tiba-tiba meledak karena harapan sudah
begitu besar untuk mendapatkan transplantasi. “Saya dari keluarga besar, saya
tidak perlu menunggu masuk daftar waiting list, saya akan mencari donor sendiri
dari keluarga! Saya hanya ingin Amelia mendapat transplantasi!!”
Kualitas
Hidup Anak Tunagrahita
Dokter itu menjawab
perlahan, suaranya seperti mengeja kata demi kata dengan datar tapi malah semakin
memuntabkan amarah yang sudah meletup. “Bukan itu masalahnya. Amelia tidak bisa
ditransplantasi karena masalah kualitas hidupnya terkait dengan masalah
keterbelakangan mental.” Suara dokter itu sungguh terasa sangat tak
berperasaan. Ibunda Amelia tiba-tiba meradang mendengar dokter itu mengatakan
soal kualitas hidup Amelia. “Stop! Jangan pernah bicara soal kualitas hidup
anakku. Anda tak pernah tahu seperti apa kualitas hidupnya! Saya dan Amelia
sudah melewati banyak rintangan dan cobaan sepanjang hidupnya. Anda jangan sok
tahu! Sekarang katakan saja kepada siapa kami harus bicara, karena saya mau
Amelia tetap mendapatkan transplantasi! Tak peduli apa yang harus kami hadapi!”
Ibunda Amelia
menyergah penuh kemarahan karena sungguh merasa diperlakukan tidak adil. Dokter
itu tak menjawab, tapi seorang pekerja sosial yang menjadi anggota tim buka
suara. “Apa Anda tahu bahwa transplantasi itu tidak selamanya? Dalam waktu 12
tahun Amelia harus ditransplantasi lagi jika ia bisa bertahan selama itu. Apa
Anda tahu pengobatan apa lagi yang harus dijalaninya?”
Ibunda Amelia
menjawab cepat dan keras. “Ya, saya tahu! Saya sudah melakukan semua riset
untuk Amelia!” Si pekerja sosial sedikit mengernyitkan kening dan membalas,
“Lantas bagaimana kalau dia umur 13 dan kalian tak bisa ada di dekatnya lagi?
Apa yang akan terjadi? Siapa yang akan mengurusnya?” Pertanyaan kurang ajar itu
itu makin membuat ibunda Amelia meradang. “Kalau kamu mati besok apa yang akan
terjadi? Siapa yang akan mengurus anakmu? Siapa yang akan bertanggungjawab atas
pekerjaan kamu? Kita semua tak ada yang bisa meramalkan masa depan! Dan kami
tidak ingin jadi peramal masa depan Amelia. Yang kami tahu, Amelia tak akan
punya masa depan jika ia tak menjalani transplantasi!”
Diskriminasi
dengan Alasan Medis
Apa yang terjadi
selanjutnya adalah penjelasan teknis dunia media dari dokter ketua tim tentang
betapa berbahaya operasi transplantasi untuk anak dengan gangguan mental
seperti Amelia. “Pengobatan yang harus dijalani Amelia setelah proses
transplantasi sangat berbahaya. Bisa mengakibatkan kerusakan otak jika dosisnya
tak tepat, jadi harus sangat hati-hati.” Begitu antara lain alasan selanjutnya
yang disampaikan dokter itu kepada ibunda Amelia. Dan karena Amelia sudah
mengalami kerusakan otak, maka mereka tak mau mengambil risiko untuk melakukan
transplantasi ginjal.
Alasan medis ini
sungguh menjadi suatu bentuk ketidakadilan dan arogansi yang mengatasnamakan
ilmu kedokteran. Sementara apa yang disampaikan ibunda Amelia jelas lebih
mengena dan substansial. Kita tak pernah tahu pasti masa depan. Kita tak pernah
tahu apa yang terjadi pada hidup kita esok hari. Mati atau hidup bukan manusia
yang menentukan. Mati atau hidup ada di tangan Tuhan.
Ketika dokter itu
mengatakan tak mau mengambil risiko dan menolak transplantasi untuk anak
tunagrahita, maka sebenarnya tindakan itu telah merampas hak sang anak untuk
mendapatkan kesempatan dan peluang atas kesehatannya. Sementara
perhitungan peluang untuk hidup jika Amelia tak mendapatkan transplantasi
ginjal bahkan lebih buruk, karena estimasi umurnya hanya tinggal 6 bulan jika
ia tak dicangkok ginjal. Mana yang lebih baik? Mana yang lebih buruk? Cangkok
atau tidak? Mana yang lebih bijak? Mana yang arogan dan sewenang-wenang?
Menolak pencangkokan dan membiarkannya Amelia meninggal 6 bulan kemudian atau
bersedia melakukan pencangkokan dan tak tahu apa yang akan terjadi?
Dalam konteks hak
asasi, hak menentukan pilihan ada di tangan orang tua Amelia. Dalam konteks
otoritas medis, para dokter punya hak untuk menyarankan, tapi sebenarnya tetap
tak bisa menolak jika pasien atau orang tua pasien dalam kasus Amelia, ingin
menentukan sikap sendiri. Tapi dalam kasus Amelia, dokter memakai argumen medis
untuk menolak hak pasien. Namun persoalan ini bukanlah melulu persoalan di Philadelphia.
Di banyak belahan lain dunia pasti masih banyak terjadi kasus serupa dalam
berbagai versi dan bentuk.
Satu hal penting
yang harus direnungkan oleh semua pihak di belahan bumi mana pun adalah apa
yang ditulis ibunda Amelia di akhir kisah yang disebarkannya, yaitu: We are in
the year 2012 and my child still does not have the right to live, the right to
a transplant, because she is developmentally delayed. Ada banyak hal yang
sebenarnya tak perlu dipertentangkan jika kita bisa menempatkan duduk perkaranya
secara proporsional dan tidak mencampuradukkan satu dengan lainnya. Jelas tak
bisa dipahami jika perkara hak asasi lalu mengalami diskriminasi dengan alasan
atau argumen medis yang membuatnya menjadi tampak benar. Mari kita semua
sama-sama merenungkan hal ini untuk masa depan yang lebih baik bagi semua
penyandang disabilitas di muka bumi. *
(Rubrik Jendela 15 diffa, Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar