SISTEM
KESEHATAN DI NEGARA BERKEMBANG
“Sistem Kesehatan” istilah mencakup
personel, lembaga, komoditas, informasi, pembiayaan dan strategi tata
pemerintahan yang mendukung pemberian layanan pencegahan dan pengobatan. Tujuan Utama dari sistem kesehatan untuk
merespon kebutuhan masyarakat dan harapan dengan memberikan pelayanan secara
adil dan merata.
Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan system kesehatan sebagai “semua kegiatan
yang tujuan utamanya adalah untuk mempromosikan, memulihkan, atau menjaga
kesehatan”. Bank Dunia mendefinisikan sistem kesehatan yang lebih luas untuk
memasukkan faktor yang saling berhubungan untuk kesehatan, seperti kemiskinan,
pendidikan, infrastruktur dan lingkungan social dan politik yang lebih luas.
Sistem kesehatan yang berfungsi
dengan baik adalah penting untuk mencapai Milenium Development Goals (MDGs)
oleh 2.015,5 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengidentifikasi enam komponen
yang diperlukan untuk menetapkan, mempertahankan dan memperkuat sistem
kesehatan, sedangkan yang memungkinkan untuk memberikan layanan yang
diperlukan, akses universal ke layanan, dan cakupan universal manfaat perawatan
kesehatan.
Negara-negara berkembang, bagaimanapun menghadapi banyak tantangan
untuk membangun yang kuat, kesehatan yang handal systems.Tantangan-tantangan
ini termasuk pembiayaan tidak memadai, kurangnya koordinasi antar-lembaga,
buruk-fungsi sistem informasi, kekurangan kesehatan pekerja dan gangguan
pasokan.
1.
Kekurangan pekerja kesehatan
membatasi kemampuan banyak negara untuk mencapai MDG. kekurangan yang ada ini
melemahkan sistem penyampaian layanan kesehatan dan menghambat ekspansi
services.Sebagai contoh, di 15 negara di Sub-Sahara Afrika ada lima atau kurang
dokter per 100.000 orang.
2.
Kedua sektor publik dan swasta
memiliki peran untuk bermain dalam mengatasi tantangan yang kompleks dan unik
yang dihadapi oleh negara-negara berkembang untuk mengembangkan dan memelihara
sistem kesehatan masalah yang efektif. Di banyak negara, kurang dari setengah
dari penduduk memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
3.
Sistem kesehatan diperkuat
tujuan untuk meningkatkan kesehatan dengan menanggapi kebutuhan masyarakat dan
harapan, dan dengan menyediakan layanan secara adil dan merata. Intervensi
termasuk meningkatkan kepemimpinan dan pemerintahan, memastikan pasokan produk
medis dan menciptakan sistem pelayanan yang lebih efektif dan efisien.
4.
Kesehatan sistem penelitian
mengidentifikasi tantangan dalam menyediakan perawatan dan memberikan
intervensi di semua tingkat sistem kesehatan dan menyediakan solusi inovatif
untuk meningkatkan penyampaian pelayanan. Menghadapi tantangan ini dalam
pengaturan di mana infrastruktur kesehatan runtuh di berbagai bidang
membutuhkan ditargetkan penelitian tentang sistem kesehatan dan kebijakan
kesehatan.
Keringanan dan
Pembebasan Biaya untuk Jasa Kesehatan di Negara Berkembang
Sebagai tanggapan terhadap semakin minimnya anggaran dan
berkembangnya permintaan, banyak negara-negara berkembang menerapkan biaya
resmi dan tidak resmi untuk fasilitas kesehatan pemerintah. Disisi pemerintah
tindakan itu menaikkan pendapatan, namun dengan tidak adanya perlakuan khusus,
biaya yang dikenakan kepada pengguna jasa kesehatan dapat mengakibatkan
ketimpangan dan inefisiensi. Tulisan ini mengulas keberhasilan dari dua bentuk
penjatahan tersebut, yaitu keringanan biaya dan pembebasan biaya. Pembebasan
biaya membuat penduduk miskin memperoleh pelayanan kesehatan secara gratis dan
keringanan biaya membuat semua penduduk menikmati pelayanan-pelayanan kesehatan
tertentu secara gratis. Dilemanya adalah bagaimana mempertahankan biaya
pengguna jasa tanpa menimbulkan ketimpangan dan inefisiensi.
Tulisan
ini akan mengulas literatur internasional dan pengalaman tujuh negara
berkembang — Kamboja, Chile, Ghana, In- donesia, Kenya, Thailand, dan Zimbabwe
— dalam pembebasan dan pemberian keringanan biaya, serta menarik pelajaran
untuk negara-negara yang ingin menerapkan sistem serupa.
Menilai
Sistem yang Diterapkan
Menilai manfaat praktis dari sistem pembebasan dan
keringan biaya dalam studi kasus beberapa negara sulit untuk dilakukan.
Bukti-bukti terpencar dan beragam, sumber informasi juga terpencar dan sering
kali bersifat tidak resmi. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas (1) derajat
pembebasan biaya dalam mengurangi pengeluaran dari kelompok miskin; (2)
peningkatan penggunaan jasa kesehatan dengan adanya fasilitas tersebut; dan (3)
faktor- faktor penyebab keberhasilan sistem tadi. Di bawah ini adalah ringkasan
dari temuan-temuan utama:
·
Pengawasan kinerja dan evaluasi.
Kurangnya pengawasan dan evaluasi adalah kelemahan utama dari sistem yang dinilai.
Absennya kedua hal ini mengakibatkan semakin sulitnya mengukur kinerja waiver
dan exemption dan melakukan langkah-langkah perbaikan.
·
Keberhasilan pencapaian sasaran. Di
negara-negara berpendapatan rendah yang ditinjau, cakupan dari fasilitas ini
terhadap penduduk miskin sangat rendah, terutama karena pemerintah tidak secara
tepat memberikan kompensasi kepada penyedia jasa yang mensubsidi jasanya
sendiri. Penyedia jasa bagi pemerintah Kenya, sebagai contoh, sama sekali tidak
menerima kompensasi. Penyedia jasa di Ghana menerima kompensasi, tetapi
pembagiannya tidak merata dan sering kali tertunda. Maka kunci sukses sistem
pembebasan dan keringanan biaya terletak pada kompensasi yang cukup dan tepat
waktu bagi penyedia jasa.
·
Cakupan penduduk miskin dan kebocoran ke penduduk yang tidak miskin. Di negara-negara berpendapatan menengah, seperti Thailand dan
Chile, cakupan dari sistem ini termasuk tinggi. Namun, di kedua negara ini,
penduduk dengan tingkat pendatapan yang berhak untuk memperoleh fasilitas
tersebut ditetapkan terlalu tinggi, sehingga terjadi kebocoran yang cukup
besar, dimana subsidi menguntungkan penduduk yang mampu.
·
Biaya administratif. Hampir tidak ada
informasi yang tersedia mengenai biaya pengelolaan fasilitas tersebut. Hal ini
membuat penilaian dari efisiensi pencapaian sasaran menjadi sulit untuk
dilakukan.
·
Kebijakan nasional dalam pembebasan dan keringanan biaya. Semua negara, kecuali Kamboja, memiliki kebijakan pembebasan dan
keringanan biaya untuk beberapa kategori jasa kesehatan untuk semua penduduk.
Pada saat yang sama, kebanyakan negara tersebut memiliki masalah dalam kriteria
penduduk yang berhak menggunakan fasilitas ini, terutama dalam membedakan
antara penduduk miskin dan penduduk tidak miskin. Sebagai contoh, di Kenya,
sebuah kebijakan nasional mewajibkan penyedia jasa membebaskan biaya kepada
yang disebut dengan “fakir miskin”, namun kurangnya pedoman di tiap fasilitas
penyedia, membuat mereka harus mendefinikan sendiri yang disebut sebagai pasien
“fa- kir miskin”. Membuat definisi yang jelas dari target penerima jasa ini
adalah penting. Identifikasi kriteria juga harus dapat dengan mudah dilakukan
dan diverifikasi.
·
Melawan stigma. Di kebanyakan kasus yang
diulas, penduduk miskin seringkali tidak mengajukan permohonan pembebasan biaya
karena malu dengan keadaan mereka. Pelamar fasilitas tersebut di klinik umum
yang besar di Kamboja misalnya, harus menghadapi uji-kepemilikan di ruang
tunggu. Rasa malu seringkali berujung pada mundurnya pelamar dari pendaftaran.
·
Menentukan yang berhak mendapatkan fasilitas. Tidak ada jawaban yang bulat untuk menjawab siapa yang harus
bertanggung jawab terhadap proses pembebasan biaya. Meskipun begitu, bagi pihak
yang menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan fasilitas ini harus tahu
dengan baik kriteria seleksi, dilatih dengan baik, dan sepenuhnya tahu mengenai
kendala yang dihadapi dalam proses penerapannya.
·
Biaya akses. Membebaskan kelompok miskin
dari pembayaran mungkin tidak cukup untuk mempromosikan perawatan kesehatan.
Penduduk miskin seringkali harus mengatasi biaya akses dari pelayanan kesehatan
diluar biaya pemakaian, seperti transportasi, penginapan, dan makanan termasuk
opportunity-cost (biaya yang timbul akibat tidak bekerja untuk mendapatkan jasa
kesehatan). Health Equity Fund yang dimiliki Kamboja tidak hanya membebaskan
biaya perawatan kesehatan bagi penduduk miskin, tetapi juga biaya transportasi
dan makanan mereka yang berkaitan dengan perawatan kesehatan.
·
Memperbarui biaya atas jasa kesehatan dan batas pendapatan bagi
penerima fasilitas. Biaya atas jasa kesehatan dan
batas pendapatan yang layak menerima fasilitas ini harus disesuaikan secara
periodik untuk menjamin fasilitas ini hanya memberikan kemudahan bagi yang
berhak menerimanya. Jika tidak, negara- negara bersangkutan dapat secara tidak
sadar menghambat akses terhadap pelayanan kesehatan atau mendorong penyedia
jasa untuk menaikkan sendiri biaya mereka. Contohnya, jika kelayakan diberikan
berdasarkan nilai konstan kelompok pendapatan nominal, inflasi mengakibatkan
semakin sedikitnya orang-orang yang berhak untuk memperoleh bantuan.
·
Aspek institusional. Penyedia jasa membutuhkan
pedoman yang tertulis dengan jelas bagaimana pembebasan dan keringan biaya
berjalan, dengan fleksibilitas untuk adanya variasi regional atau lokal jika
diperlukan. Kejelasan semacam itu pada umumnya tidak ditemukan di negara-negara
yang ditinjau. Selain itu, staf yang bertanggung jawab mengelola sistem
tersebut tidak memiliki pengetahuan dan pelatihan yang memadai.
·
Diseminasi dari fasilitas yang telah ada.
Penduduk miskin harus tahu bahwa mereka berhak untuk mendapatkan fasilitas
kesehatan secara gratis atau subsidi, dan pengelola harus tahu siapa yang
diberikan keringanan. Penduduk juga harus diinformasikan mengenai adanya
mekanisme semacam ini. Mekanisme diseminasi harus dibuat khusus sesuai dengan
karakteristik penduduk miskin, seperti fakta mereka tinggal jauh dari
pusat-pusat kota, memiliki akses yang minim terhadap informasi, berpendidikan
rendah, dan bekerja dengan jam kerja yang panjang.
Kesimpulan
Beberapa negara telah menerapkan pendekatan yang berbeda
untuk pemberian keringanan dan pembebasan biaya. Negara-negara yang secara
hati-hati merancang programnya, seperti Indonesia dan Thailand, memiliki
tingkat keberhasilan yang besar dalam hal tingkat pemberian manfaat,
dibandingkan dengan negara-negara yang melakukan improvisasi dalam pendekatannya,
seperti Ghana, Kenya, dan Zimbabwe. Kunci keberhasilan sistem ini adalah
pendanaan yang memadai. Sistem yang diterapkan oleh Indonesia, Thailand, dan
Kamboja, lebih sukses dalam memberikan kompensasi ke penyedia jasa untuk
pendapatan mereka yang hilang karena harus menyediakan fasilitas tersebut,
dibandingkan dengan misalnya Kenya, dimana penyedia harus menyediakan sendiri
dana untuk fasilitas tadi.
Kunci
keberhasilan lainnya termasuk penyebaran informasi yang luas dari pemberian
keringanan dan pembebasan biaya kepada penerima potensial, dukungan dana untuk
pasien tidak mampu dan biaya diluar biaya kesehatan untuk mendapatkan perawatan
kesehatan, serta kriteria yang jelas dari siapa yang berhak menerima
keringanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar